“Di dalamnya saya menemukan berbagai referensi seputar isu-isu hak perempuan. Semakin banyak saya membaca, semakin saya menemukan diriku setuju dengan ide-ide yang tertulis di belakangnya dan aku bisa melihat mengapa Islam mewarnai kehidupan mereka (teman-teman Muslimnya-Red),” ungkapnya.
Jumat, 23 Maret 2012
Hana Tajima Simpson,Blasteran Jepang-Inggris,Mengagumi Kandungan Alquran
Akhir-akhir
ini, nama Hana Tajima Simpson menjadi topik perbincangan di kalangan blogger Muslimah.
Di kalangan para blogger, nama perempuan blasteran Jepang-Inggris itu dikenal
karena gaya berjilbabnya yang unik dan lebih kasual. Sosok Hana pun telah
menghias sejumlah media di Inggris dan Brazil. Hana yang dikenal sebagai
seorang desainer membuat kejutan lewat produk berlabel Maysaa. Produk yang
telah dilempar ke pasaran dunia itu berupa jilbab bergaya layers (bertumpuk).
Melalui label itu, Hana mencoba memperkenalkan gaya berbusana yang trendi,
namun tetap sesuai dengan syariat Islam di kalangan Muslimah.
Kini, produk
busana Muslimah yang diciptakannya itu tengah menjadi tren dan digandrungi
Muslimah di negara-negara Barat. Semua itu, tak lepas dari kegigihannya dalam
mempromosikan Maysaa. Tak cuma itu, kini namanya menjadi ikon fesyen bagi para
Muslimah di berbagai negara. Mengenai gaya berjilbab yang diusung Hana,
skaisthenewblack.blogspot menulis, “Dia (Hana) memiliki gaya yang hebat. Sangat
elegan dan chic, namun tetap terlihat sederhana”. Ternyata, busana Muslimah pun
bila dikreasi secara kreatif dan inovatif bisa mewarnai dunia fesyen
internasional.
Sejatinya,
gaya berjilbab yang ditunjukkan perempuan berusia 23 tahun itu kepada para
Muslimah di berbagai negara tercipta secara tidak sengaja. Hana yang saat itu
baru memeluk Islam ingin sekali menggenakan jilbab. Ia memeluk Islam saat
usianya baru menginjak 17 tahun. “Sebagai seorang desainer, awalnya saya merasa
frustrasi melihat gaya berbusana sebagian besar Muslimah yang kurang
bervariasi,” ungkapnya dalam sebuah wawancara khusus dengan HijabScraft.
Dengan maksud
ingin menunjukkan kepada masyarakat Barat bahwa para perempuan Muslim pun dapat
tampil di muka umum dengan gaya berbusana yang modis dan chic, serta mengikuti
tren fesyen terkini, Hana mulai tergerak untuk mendesain gaya busana Muslimah
lengkap dengan jilbabnya yang berbeda dengan yang sudah ada pada saat itu.
Selain unik, gaya berbusana yang diusung Hana ini pada dasarnya tidak pernah
benar-benar mengikuti tren fesyen yang pada saat itu tengah digandrungi di
negara-negara Barat pada umumnya. “Suatu hari saya akan tampil dengan gaya
glamor ala Hollywood dan (hari) berikutnya saya akan terobsesi dengan gaya
rock/grunge di tahun 90-an,” paparnya.
Ia mengatakan
cenderung menjaga hal-hal yang dianggap kecil dan sederhana dalam mendesain
sebuah fesyen. Hana pun secara terus terang mengaku tertarik untuk
mengkreasikan sesuatu, seperti memadankan jaket kulit vintage dengan gaun
panjang bermotif bunga-bunga. Untuk mempopularkan gaya berbusananya, Hana
memanfaatkan jaringan internet dengan membuat laman web pribadi yang diberi
nama stylecovered.com. Saat itu, Hana belum sempat memberikan label untuk
produk yang didesainnya itu.
Tanpa
disangka, gaya berbusana yang ditampilkan dalam laman webnya itu menarik minat
para blogger Muslimah di Inggris. Berawal dari situlah, Hana kemudian
memutuskan untuk mendirikan Maysaa, sebuah rumah desain dan fesyen yang
terinspirasi dari fesyen Barat namun tetap disesuaikan dengan kaidah Islam.
Kendati
Maysaa ditujukan untuk para wanita Muslim, namun Hana tidak menampik hasil
rancangannya ini juga bisa dikenakan oleh kalangan wanita non-Muslim. “Saya
tidak bisa mengatakan pakaian yang saya buat hanya untuk wanita Muslim atau
untuk wanita non-Muslim, karena kehidupan saya pada dasarnya juga merupakan
percampuran dari keduanya. Karenanya, saya suka membuat rancangan dari
perspektif yang sangat pribadi,” terang perempuan yang sudah mulai merancang
sejak usia lima tahun itu.
Memeluk Islam
Sebelum
mengucap dua kalimat syahadat, Hana adalah seorang pemeluk Kristen. Ia tumbuh
di daerah pedesaan di pinggiran Devon yang terletak di sebelah barat daya
Inggris. Kedua orang tuanya bukan termasuk orang yang religius, namun mereka
sangat menghargai perbedaan. Di tempat tinggalnya itu tidak ada seorang pun
warga yang memeluk Islam. Persentuhannya dengan Islam terjadi ketika Hana
melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. “Saya berteman dengan beberapa Muslim
saat di perguruan tinggi,” ujarnya.
Dalam pandangan
Hana, saat itu teman-temannya yang beragama Islam terlihat berbeda. “Mereka
terlihat menjaga jarak dengan beberapa mahasiswa tertentu. Mereka juga menolak
ketika diajak untuk pergi ke pesta malam di sebuah klub,” tutur Hana. Bagi
Hana, hal itu justru sangat menarik. Terlebih, teman-temannya yang Muslim
dianggap sangat menyenangkan saat diajak berdiskusi membahas materi kuliah.
Menurut dia, mahasiswa Muslim lebih banyak dihabiskan waktunya untuk membaca di
perpustakaan ataupun berdiskusi.
Dari
teman-teman Muslim itulah, secara perlahan Hana mulai tertarik dengan ilmu
filsafat, khususnya filsafat Islam. Sejak saat itu pula, Hana mulai mempelajari
filsafat Islam dari sumbernya langsung, yakni Alquran. Dalam Alquran yang
dipelajarinya, ia menemukan fakta bahwa ternyata kitab suci umat Islam ini
lebih sesuai dengan kondisi saat ini.
“Di dalamnya saya menemukan berbagai referensi seputar isu-isu hak perempuan. Semakin banyak saya membaca, semakin saya menemukan diriku setuju dengan ide-ide yang tertulis di belakangnya dan aku bisa melihat mengapa Islam mewarnai kehidupan mereka (teman-teman Muslimnya-Red),” ungkapnya.
“Di dalamnya saya menemukan berbagai referensi seputar isu-isu hak perempuan. Semakin banyak saya membaca, semakin saya menemukan diriku setuju dengan ide-ide yang tertulis di belakangnya dan aku bisa melihat mengapa Islam mewarnai kehidupan mereka (teman-teman Muslimnya-Red),” ungkapnya.
Rasa kagumnya
terhadap ajaran-ajaran yang terdapat di dalam Alquran pada akhirnya membuat Hana
memutuskan untuk memeluk Islam. Tanpa menemui hambatan, ia pun bersyahadat
dengan hanya disaksikan oleh teman-teman Muslimahnya. “Yang paling sulit saat
itu adalah memberitahukan kepada keluargaku, meskipun aku tahu mereka akan
bahagia selama aku juga merasa bahagia.” ed; heri ruslan
Memilih
Berjilbab
Tak semua Muslimah tergerak untuk
menutup auratnya dengan jilbab. Namun bagi Hana Tajima, jilbab adalah identitas
seorang Muslimah. Sebagai seorang mualaf, desainer busana Muslimah yang sedang
menjadi pusat perhatian itu memilih untuk mengenakan jilbab. Seperti halnya
saat memutuskan untuk memeluk Islam, keputusan hana untuk mengenakan jilbab
juga datang tanpa paksaan. “Saya mulai mengenakan jilbab pada hari yang sama di
saat saya mengucapkan syahadat. Ini merupakan cara yang terbaik untuk
membedakan kehidupan saya di masa lalu dengan kehidupan di masa depan,”
paparnya seperti dikutip dari hijabscarf.blogspot.com.
Keputusannya untuk mengenakan jilbab
kontan memancing reaksi beragam dari orang-orang di sekitarnya, terutama teman
dekatnya. Sebelum mengenakan jilbab, Hana paham betul dengan semua konotasi
negatif yang disematkan kepada orang-orang berjilbab. “Saya tahu apa yang mereka
pikirkan mengenai jilbab, tetapi saya akan bersikap pura-pura tidak
mengetahuinya. Namun seiring waktu, orang-orang di sekitarku kini bisa bersikap
lebih santai manakala melihatku dalam balutan jilbab,” papar Hana sumringah.
Dalam blog pribadinya Hana mengakui
bahwa menjadi seorang Muslimah di sebuah negara Barat dapat sedikit menakutkan,
terutama ketika para mata di sekitarnya menatap dengan tatapan aneh.
Maklum saja, di negara-negara Barat, sebagian penduduknya telah terjangkit
Islamofobia. Tak sedikit, Muslimah yang mengalami diskriminasi dan pelecehan
saat mengenakan jilbab. Bahkan, di Jerman beberapa waktu lalu, seorang Muslimah
dibunuh di pengadilan karena mempertahankan jilbab yang dikenakannya.
“Karena itu, mengapa saya ingin
menciptakan sesuatu yang akan membantu para Muslimah di mana pun untuk terus
termotivasi mengatasi rasa takut itu,” ujar Hana. Kini, dengan busana Muslimah
yang dirancangnya, kaum Muslimah di negara-negara Barat bisa tampil dengan
busana yang bisa diterima masyarakat tanpa meninggalkan aturan yang ditetapkan
syariat Islam. (Nidia Zuraya, Republika Online, 9 Januari 2011).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar